Seorang anggota TNI memantau jalannya Aksi Kamisan di Kota Medan, Kamis (11/9/2025)
Medan Insight

Aksi Damai Kamisan Dipantau Tentara

  • “Tidak ada respon yang jelas dari pemerintah. Siapa pelakunya, siapa yang disalahkan, apa tindaklanjutnya. Apakah ada penahanan atau penangkapan? Justru yang ditahan dan ditangkap mereka yang bersuara, bukan para pelaku kejahatan HAM itu”
Medan Insight
Canyon Gabriel

Canyon Gabriel

Author

MEDAN - Aksi damai Kamisan di titik nol Kota Medan dipantau tentara. Seorang personel berseragam loreng terlihat memotret dan mencatat di ponselnya sambil mengamati massa. Kehadirannya di ruang sipil menimbulkan pertanyaan, apakah sekadar atensi terhadap aspirasi atau praktik pengawasan yang melampaui fungsi.

Tepat di tatapannya, suara aksi bergema. Kali ini, aksi mengusung tema September Kelam. Mengingatkan deretan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari pembunuhan Munir, penangkapan demonstran, kriminalisasi dan pembunuhan aktivis.

Isu berangkat dari keresahan massa terhadap kehadiran negara dalam kasus-kasus pelanggaran HAM. Negara dianggap absen, bahkan dituding turut menjadi aktor. 

“Tidak ada respon yang jelas dari pemerintah. Siapa pelakunya, siapa yang disalahkan, apa tindaklanjutnya. Apakah ada penahanan atau penangkapan? Justru yang ditahan dan ditangkap mereka yang bersuara, bukan para pelaku kejahatan HAM itu,” kata Richard, Kamis (11/9/2025).

Kehadiran TNI di tengah aksi memperkuat keresahan. Bagi sebagian peserta, pengawasan militer di ranah sipil menambah daftar panjang mangkirnya negara dalam menjamin kebebasan berekspresi. Alih-alih menghadirkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, malah curiga kepada rakyat yang menyuarakan tuntutan.

Fungsi utama TNI adalah pertahanan dan keamanan dari ancaman militer. Di luar itu, memang ada OMSP seperti membantu Polri menjaga keamanan. Itu pun harus melalui keputusan politik negara atau permintaan resmi, yang terjadi di Aksi Kamisan berbeda. 

“Anggota Babinsa bukan sekadar hadir, aktif mencatat dan memantau isi ekspresi massa. Ini tidak bisa dianggap rutinitas, cenderung intervensi TNI ke ranah sipil yang semestinya menjadi wilayah kepolisian,” kata Richard lagi.

Sebagian peserta aksi menanggapi kehadiran tentara sebagai hal biasa. Bagi mereka, aparat berseragam tidak lagi menjadi tekanan dalam berekspresi, sebab hampir setiap aksi selalu ada pengawasan serupa.

“Sebenarnya dipantau TNI itu, bukan hanya aksi ini saja. Sebelum-sebelumnya pun sudah sering hadir. Orangnya hampir selalu itu-itu juga. Tidak menjadi ketakutan bagi kawan-kawan, dianggap lalu-lalang saja,” ujar Gana.