Enda Ersinallsal Ginting bersama kedua orangtuanya saat menceritakan perjuangannya mencari sang anak
Medan Insight

Cerita Pilu Enda Ginting Mencari Sang Buah Hati yang Kini Entah di Mana

  • "Dia warga negara Indonesia, Beru Ginting, lahir di Jakarta. Terdaftar di Kartu Keluarga ayah saya di Medan. Biarkanlah dia mengenal ayahnya..."
Medan Insight
Mei Leandha

Mei Leandha

Author

MEDAN - Enda Ersinallsal Ginting, 42 tahun, warga Jalan dr Mansyur, Kota Medan, duduk didampingi orangtuanya, Rina Tarigan dan Abadi Ginting. Pasangan suami istri yang sehari-hari mengajar di Universitas Sumatera Utara (USU) itu, dengan sabar menemani dan menguatkan anak laki-laki pertamanya menyelesaikan proses hukum dan menahan kerinduan kepada Amelia Kohut Ginting, 5 tahun, yang kini entah di mana.

Amelia lahir pada 12 Mei 2018 di Jakarta, buah perkawinan Enda dengan Katarina Kohutova, Warga Negara Slovakia. Mereka menikah di Kopenhagen, Denmark pada 30 Agustus 2017. Saat mengikat janji setia, Enda bekerja di Kantor Staf Presiden (KSP) Republik Indonesia. Istrinya menjadi konsultan di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Prahara bermula ketika Enda terbang ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan adik perempuannya. Pada 19 Agustus 2020 siang, dia berangkat dari Kota Vienna, Austria, bersama Amelia. Saat akan menaiki pesawat, tujuh petugas di bandara memintanya masuk ke ruang khusus untuk pemeriksaan. Berdasarkan laporan polisi Slovakia, Enda dituduh menculik anak. 

"Saya harus memberikan keterangan yang berbelit-belit dan rumit tentang siapa saya, keluarga, anak yang digendong, negara asal dan tujuan. Sampai menunjukkan undangan perkawinan adik saya yang tertulis dalam bahasa Arab, akhirnya dipersilakan naik ke pesawat. Saya sudah ketakutan saat itu," kata Enda, Selasa (20/6/2023).

Sampai di Bandara Soekarno Hatta, Enda kembali mengalami hal yang menakutkan di gerbang imigrasi. Dia ditarik dari antrean, dimasukkan ke ruangan khusus  dan menunggu lebih dari satu jam tanpa bicara seperti pelaku kejahatan. Satu jam diinterogasi, Enda baru mengetahui kalau yang melaporkannya adalah istrinya sendiri. Lepas dari imigrasi, dia menginap semalam di Jakarta sambil menunggu penerbangan pertama ke Medan.

Begitu menginjakkan kaki di tanah kelahiran, persoalan baru muncul. Enda dipanggil Polisi Daerah Sumatera Utara berdasarkan laporan bertanggal 1 November 2020 atasnama Katarina Kahutova. Tuduhannya, melarikan anak dari luar negeri dan menelantarkannya. Perbuatannya tidak terbukti, Polda Sumut mengeluarkan SP3 pada 18 Oktober 2021. Enda melaporkan balik mantan istrinya ke Polda Sumut pada 21 Februari 2022, laporannya diterima dengan Nomor LP/B/342/II/2022/SPKT/ POLDA SUMATERA UTARA.

"Ini saya lakukan karena laporan dia palsu. Selama Amelia bersama saya, dia sehat dan terawat. Alasan saya membawanya ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan adik perempuan saya. Mantan istri saya juga sudah berjanji hadir, batal karena alasan pekerjaan. Pada 31 Oktober 2022, keluar SP3 Polda Sumut menyatakan tuduhan Katarina bukan tindak pidana," raut Enda gundah.

Upaya Katarina membawa sang anak keluar dari Tanah Air berlanjut dengan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Medan. Selama proses persidangan, Enda harus berpisah dengan putrinya. Amelia dititipkan di SOS Children's Village, di bawah pengawasan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Pemerintah Provinsi Sumut. Setiap hari, dia bersama kedua orangtuanya menjenguk. Awalnya sehari bisa dua kali kunjungan, kemudian sekali dalam sehari, lama-lama tak bisa lagi.

"Sedih, kenapa hukum Indonesia tunduk dengan hukum negara lain. Saya sudah tidak bertemu Amelia satu tahun lebih. Aparat tidak ada yang mau membantu... Saya gugat mantan istri, Dinas PPA Sumut dan SOS Children's Village ke PN Medan karena membawa kabur anak saya tanpa persetujuan dan tanpa melibatkan saya," ucap Enda.

Dia menilai, Polda Sumut dan Dinas PPA Sumut tidak melindungi dan membiarkan anaknya dibawa pergi. Padahal sudah ada perjanjian tertulis bahwa Amelia Ginting harus tetap berada di Kota Medan sampai proses hukum pidana dan perdata perceraian serta hak asuh anak berkekuatan hukum tetap. Keheranan Enda semakin menjadi saat kuasa hukum mantan istrinya di persidangan tanggal 13 Februari 2023 mengaku, sudah mengetahui putusan Kasasi tentang hak asuh anaknya.

"Saya belum menerima putusan itu. Jika Mahkamah Agung memutuskan hak asuh Amelia kepada Katarina, ini sangat menyakitkan karena dia WNA yang tidak memiliki domisili tetap di Indonesia. Kalau anak saya dibawa ke luar negeri, berarti Mahkamah Agung menghilangkan haknya sebagai warna negara untuk dilindungi hukum Indonesia," kata pria yang bekerja di NGO lingkungan ini menahan emosi. 

Sekedar informasi, Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebut: negara menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan Hak Asasi Manusia. Jika terjadi perkawinan campuran, anak yang dilahirkan berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau  
ibunya sesuai ketentuan yang berlaku. Bila terjadi perceraian, anak berhak memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.

Pada Selasa (20/6/2023), gugatan: 944/Pdt.G/2022/PN Mdn dengan tuntutan perbuatan melawan hukum yang didaftarkan Enda pada 30 Nopember 2022 masih beragenda mendengarkan keterangan saksi. Sedangkan laporannya ke Polda Sumut pada 21 Februari 2022 dengan nomor: LP/347/II/2022/SPKT/Polda Sumut, sampai hari ini belum ada penyelesaian.

"Amelia dibawa kabur dari Medan oleh Katarina, dibantu SOS Children’s Village pada 11 Februari 2022. Sejak saat itu, saya tidak pernah bertemu lagi. Tidak tahu, anak saya di mana sekarang. Saya merasa dicurangi Dinas PPA, SOS Children’s Village dan Katarina karena tindakan mereka tidak di jalur hukum dan tidak melalui proses hukum.

Saya merasa ada persekongkolan jahat, tidak berdaya karena Polda Sumut terkesan memihak Katarina. Lambat menindaklanjuti laporan saya, tapi begitu cepat dengan laporan Katarina," ujar dia tertunduk.

Abadi Ginting yang duduk di samping Enda menggeleng-gelengkan kepala. Katanya, mendampingi Enda mendapatkan keadilan membuatnya merasakan perlakuan buruk dan diskriminasi dari aparat penegak hukum. Perbedaan pelayanan antara orang asing dengan pribumi sangat kontras. Warga Negara Indonesia seperti kelas dua di Tanah airnya. 

"Aduan kami ke polisi, dibalas dengan kata-kata manis namun tidak ada realisasinya. Ini pandangan saya, lo... Mudah-mudahan sesuai adat Timur, cucu ku itu, kembalilah ke pangkuan ku..." ucapnya.

Rina Tarigan membenarkan ucapan suaminya. Meski Amelia bukan cucu pertamanya, namun kerinduannya sepertinya lebih besar dari kerinduan sang ayah. Masih terbayang-bayang diingatannya betapa cucu keempatnya itu, senang dan sayang kepada kakek dan neneknya.

"Kami merasakan diskriminasi saat ingin menjenguknya. Amelia itu, badannya bentol-bentol digigit nyamuk. Saya sedih sekali, mau mengobatinya malah diperlakukan kasar," katanya menahan tangis. 

Kembali ke Enda, dia mengaku kecewa sekali dengan pelayanan dan proses hukum di Indonesia. Ditanya apa keinginannya, dia hanya ingin Amelia kembali, hidup bersamanya. Hak asuh diberikan agar bisa membangun tanggung jawab, etika dan moral. Pintanya kepada semua pihak yang  
terlibat, gunakanlah jalur hukum yang sesuai dan idealnya, jangan diselewengkan. Jangan melahirkan diskresi dan tanpa pertimbangan logika.

"Dia warga negara Indonesia, Beru Ginting, lahir di Jakarta. Terdaftar di Kartu Keluarga ayah saya di Medan. Biarkanlah dia mengenal ayahnya dan keluarga ayahnya..." kata Enda menahan air matanya.