
Fenomena Greater Fool Theory di Saham Gorengan
- Sering FOMO dan 'nyangkut' di saham gorengan? Pahami Greater Fool Theory dari Burton Malkiel ini biar gak boncos kayak Isaac Newton.
Ekonomi & Pariwisata
JAKARTA – Lonjakan harga saham hingga ribuan persen tanpa ditopang kinerja bisnis yang jelas kerap menimbulkan euforia di pasar modal. Instrumen berisiko tinggi seperti saham perusahaan yang merugi atau koin kripto berbasis meme bisa mendadak diburu banyak orang, lalu anjlok drastis hingga nyaris tak bernilai dalam waktu singkat.
Di balik pergerakan harga yang tampak irasional tersebut, sebenarnya bekerja sebuah mekanisme pasar yang keras dan telah lama dibahas dalam kajian ekonomi. Konsep psikologis ini sudah dikenal sejak puluhan tahun lalu dan populer dengan istilah The Greater Fool Theory, atau Teori Si Lebih Bodoh.
Bagi investor Gen Z yang akrab dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out) dan hype media sosial, memahami pemikiran ini adalah perisai utama. Pengetahuan ini menjadi batas tipis antara menjadi investor cerdas atau sekadar menjadi korban likuiditas bandar. Berikut 4 fakta dinamika teori tersebut.
1. Malkiel dan Konsep Istana di Awan
Burton Malkiel, seorang ekonom dari Princeton University, mengguncang dunia investasi lewat bukunya yang legendaris, A Random Walk Down Wall Street (1973). Di saat banyak analis sibuk menggambar grafik teknikal, Malkiel justru menyoroti sisi gelap psikologi pasar yang sering luput dari perhatian.
Malkiel memperkenalkan konsep Castle-in-the-Air atau membangun istana di awan. Ia berargumen bahwa dalam periode tertentu, investor tidak lagi peduli pada nilai instrinsik perusahaan, melainkan membeli aset semata-mata karena percaya narasi muluk bahwa harganya akan naik terus tanpa dasar yang jelas.
Investasi tipe ini sejatinya adalah tentang membangun khayalan semata. Investor tidak lagi berhitung, melainkan hanya mencoba menebak narasi mana yang sedang disukai kerumunan. "Investasi tipe ini adalah tentang membangun khayalan. Investor mencoba menebak narasi mana yang sedang disukai kerumunan," tulis Malkiel.
2. Mekanisme Mencari Tumbal Terakhir
Inti dari teori yang dibedah Malkiel ini sangat sederhana namun kejam secara finansial. Seseorang membeli aset yang sudah overpriced atau kemahalan bukan karena kualitasnya, melainkan karena keyakinan bahwa akan ada "orang yang lebih bodoh" yang mau membelinya dengan harga lebih tinggi.
Dalam ekosistem pasar modern, pola ini terlihat jelas pada pergerakan saham-saham meme atau aset digital spekulatif lainnya. Selama musik masih berbunyi dan ada pembeli baru yang masuk karena takut ketinggalan tren, harga aset akan terus terkerek naik menjauhi nilai wajarnya.
Namun, Malkiel mengingatkan bahwa ini hanyalah permainan oper-operan bom waktu. Saat stok pembeli habis dan tidak ada lagi yang mau membeli di harga pucuk, harga akan runtuh seketika. Investor terakhir yang masuk akan menjadi bagholder atau pemegang aset saham gorengan yang tidak bernilai.
3. Isaac Newton: Jenius yang Terkecoh
Sejarah membuktikan bahwa kecerdasan intelektual tinggi tidak menjamin seseorang lolos dari jebakan Greater Fool. Sir Isaac Newton, bapak fisika modern yang jenius, adalah bukti nyata korban teori ini pada peristiwa gelembung ekonomi South Sea Bubble yang terjadi tahun 1720.
Kala itu, saham South Sea Company sedang digoreng gila-gilaan oleh pasar. Newton awalnya untung, namun karena melihat teman-temannya semakin kaya, ia terkena efek FOMO dan masuk kembali dengan seluruh kekayaannya di harga puncak, sebelum akhirnya gelembung tersebut pecah total.
Kejadian tragis ini melahirkan kutipan Newton yang paling relevan untuk pasar saham hari ini. Ia mengakui ketidakmampuannya menghitung kegilaan manusia meski mampu menghitung pergerakan bintang. "I can calculate the motion of heavenly bodies, but not the madness of people," keluh Newton.
4. Strategi Navigasi: Value vs Hype
Memahami teori Malkiel mengajarkan investor muda untuk membedakan antara investing yang berdasarkan nilai dan speculating yang berdasarkan harapan di pasar modal. Jika portofolio penuh dengan aset yang naik hanya karena tren media sosial, investor sesungguhnya sedang bermain dalam arena yang sangat berbahaya.
Strategi spekulasi ini mungkin bisa sangat menguntungkan dalam jangka pendek atau quick gain saat momentum ada. Namun, risiko utamanya adalah kehilangan modal total jika gagal keluar sebelum pesta usai dan harga aset kembali ke nilai fundamentalnya yang rendah.
Sebaliknya, Malkiel menyarankan pendekatan Firm Foundation dengan fokus pada aset berarus kas nyata. Meski mungkin tidak naik drastis dalam semalam, strategi ini memastikan investor memiliki landasan yang kuat dan tidak menjadi "si bodoh" terakhir saat gelembung pasar pecah.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Alvin Bagaskara pada 29 Dec 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 29 Des 2025
