Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut Idianto melakukan ekspose penghentian tuntutan tujuh perkara dengan restorative justice
Medan Insight

Kejati Sumut Kembali Hentikan Penuntutan 7 Perkara dengan RJ

  • "Tujuh perkara yang diajukan ke JAM Pidum ini disetujui dihentikan dengan menerapkan RJ berdasarkan Perja Nomor 15 Tahun 2020"
Medan Insight
Canyon Gabriel

Canyon Gabriel

Author

MEDAN - Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara kembali menghentikan penuntutan tujuh perkara dengan Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif. Proses penghentian perkara dilakukan setelah Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut Idianto melakukan ekspose perkara kepada JAM Pidum Kejagung Fadil Zumhana yang diwakili Direktur TP Oharda Agnes Triani pada Selasa (11/7/2023).

Ekspose perkara dari Kejati Sumut diikuti Idianto, Aspidum Luhur Istighfar, Kajari Deliserdang Jabal Nur, Kasi Pidum Kejari Deliserdang Bondan Subrata, Kajari serta Kasi Pidum yang mengajukan perkaranya untuk dihentikan.

Idianto melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan menyampaikan, sampai semester 1-2023 sudah menghentikan 52 perkara dengan pendekatan keadilan restoratif. 

Tujuh perkara yang dihentikan penuntutannya adalah: Kejari Labuhanbatu dengan Tersangka Indra Sahputra Alias Siin dan Hasan Basri Alias Suncai, keduanya melanggar Pasal 351 ayat (2) KUHPidana. 

Kejari Deliserdang dengan Tersangka Mas Poniman dan Wahyudi Pratama Alias Yudi Alias Tama yang melanggar Pasal 44 ayat (1) subs ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kejari Simalungun dengan Tersangka Nurhayati Setia Desy Saragih yang melanggar Primair Pasal 480 Ayat (1) KUHP Subsidair Pasal 480 Ayat (2) KUHP. Kemudian Tersangka Sudirman Bintang  dan Sampe Tuah Bintang melanggar Pasal Primair Pasal 170 ayat (1) KUHP Subsidair Pasal 351 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Kejari Samosir perkara tindak pidana penganiayaan dengan Tersangka Agi Paruntungan Naibaho, melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHPidana.

"Tujuh perkara yang diajukan ke JAM Pidum ini disetujui dihentikan dengan menerapkan RJ berdasarkan Perja Nomor15 Tahun 2020," kata Yos.

Penghentian penuntutan dengan keadilan restoratif diatur dalam Perja Nomor 15 Tahun 2020, dengan syarat: tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan di bawah Rp2,5 juta, ancaman hukuman di bawah lima tahun penjara, ada perdamaian antara tersangka dengan korban dan direspons positif oleh keluarga.

Penghentian penuntutan dilakukan ketika tersangka dan korban sepakat berdamai. Tersangka menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Perdamaian disaksikan keluarga, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Difasilitasi Kajari, Kacabjari dan jaksa yang menangani perkaranya.

Penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban. Bersama merumuskan penyelesaian permasalahan untuk pemulihan keadaan seperti semula agar tidak ada dendam di kemudian hari.

"Ketika tersangka dan korban berdamai, sekat yang memisahkan persaudaraan atau rasa dendam dan benci yang tertanam bisa dicairkan agar tidak membeku dan menyiptakan permusuhan yang berkepanjangan," kata Yos.