Ady Yoga Kemit dalam diskusi dan konsolidasi quo vadis keadilan dalam peradilan militer di LBH Medan
Medan Insight

KontraS Sumut Soroti Impunitas dan Vonis Ringan di Peradilan Militer

  • “Biasanya tindakan represif dominan dilakukan Polri. Sekarang militer ikut bersaing dalam pelanggaran HAM”
Medan Insight
Canyon Gabriel

Canyon Gabriel

Author

MEDAN - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara menyoroti tren pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh institusi TNI serta lemahnya penegakan hukum dalam peradilan militer.

Catatan KontraS, secara nasional mulai Oktober 2023 sampai September 2024, terjadi 64 pelanggaran HAM melibatkan TNI. Mulai dari penganiayaan dan pembunuhan. Di Sumut, ada 6 kasus yang dilakukan aparat militer sejak Januari 2024 hingga Juli 2025.

“Biasanya tindakan represif dominan dilakukan Polri. Sekarang militer ikut bersaing dalam pelanggaran HAM,” kata Ady Yoga Kemit, perwakilan KontraS Sumut dalam diskusi publik di kantor LBH medan, Senin (4/8/2025).

Dua kasus besar yang dipantau adalah penembakan MAF (13) di Kabupaten Serdangbedagai dan penyerangan massal di Desa Sibirubiru, Kabupaten Deliserdang. Dalam kasus MAF, dua oknum TNI yang 
menembak korban dituntut 18 dan 12 bulan penjara, meski perbuatannya menyebabkan kematian.

“Warga sipil yang terlibat divonis empat tahun penjara, pelaku utama hanya 18 bulan. Ini tidak adil,” tegas Ady.

Kasus Sibiru-biru, ada 33 prajurit Batalyon Artileri Medan 2/105 Kilap Sumagan atau Yonarmed 2/KSYon Armed 2 menyerang warga, mengakibatkan belasan orang luka-luka dan satu meninggal dunia. Namun hanya 25 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, 15 diadili, beberapa di antaranya divonis tujuh dan delapan bulan penjara. 

“Lebih mengkhawatirkan, semua terdakwa tetap aktif berdinas setelah persidangan. Kami juga menggarisbawahi sejumlah masalah dalam sistem peradilan militer. Pertama, impunitas tinggi karena pelaku kekerasan tidak diberhentikan dari kedinasan,” ungkap Ady.

Kemudian, vonis ringan dengan dalih restorasi terhadap korban, usia muda dan prestasi. Hakim dan jaksa berasal dari institusi militer, rentan konflik kepentingan. Saksi korban ditekan agar memaafkan pelaku. Pasal yang digunakan tidak sesuai, misalnya pasal kelalaian untuk penembakan bersenjata.

"Seperti penembakan MAF, pelaku melepaskan enam tembakan ke 
arah korban hanya dituntut pasal kelalaian atau Pasal 359 KUHP. Padahal jelas terdapat unsur kesengajaan dan penggunaan senjata api," sebutnya.

Dalam sistem peradilan pidana umum, pemulihan korban adalah tanggung jawab pelaku, tetapi di peradilan militer dijadikan alasan untuk mengurangi hukuman.

“Kondisi ini sangat memprihatinkan. Kami meminta reformasi peradilan militer agar lebih transparan, adil, berpihak kepada korban, bukan pada institusi pelaku kekerasan,” katanya lagi.