
LBH Medan: Pengibaran Bendera One Piece Bukan Makar, Pemerintah Jangan Lebay
- Pengibaran bendera One Piece adalah kritik rakyat terhadap negara, bentuk kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Bukan bentuk merendahkan dan menghindari bendera merah putih"
Medan Insight
MEDAN - Bendera Jolly Roger marak berkibar, terkadang berdampingan dengan bendera merah putih. Ada yang memasangnya di kendaraan, sebagai bentuk solidaritas, kesenangan bersama, atau memang gandrung dengan One Piece, seri manga Jepang yang ditulis dan diilustrasikan fiksi Eiichiro Oda. Bercerita tentang bajak laut bertopi jerami menjelajahi Grand Line untuk mencari harta karun.
Ricky Mainaki Karo Purba, warga Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mengaku sudah mengenal Monkey D. Luffy sejak umur enam tahun. Saat booming kemarin, bapak dua anak ini membeli Bendera Jolly Roger di market place seharga Rp 50.000. Kemudian, memasangnya di mobil.
"Aku kena marah polisi karena pasang di mobil, mau diambil benderanya, gak ku kasi..." kata seniman musik tradisional Karo ini, Selasa, (6/8/2025).
Banyak yang ingin melakukan sama seperti Ricky, namun mengurungkan niatnya karena Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan bilang, ada konsekuensi pidana terhadap tindakan yang menciderai kehormatan lambang negara. Menteri HAM Natalius Pigai juga melarang masyarakat mengibarkan Bendera One Piece. Kalau bendera dikibarkan sejajar, ini adalah bentuk makar.
- Bupati Langkat Inisiasi Pendidikan Reproduksi Masuk Jadi Kurikulum
- Agung Podomoro Konsisten Bangun Kawasan Ramah Lingkungan Di Tengah Tren Green Living
- Aksi Damai ARMI di Pengadilan Militer I-02 Medan Berakhir Mengecewakan
Respon wakil ketua DPR Sufmi Dasco lebih seram lagi. Dia mendeteksi dan mendapat masukan dari lembaga pengamanan dan Intelijen bahwa ada upaya memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Gerakan sistematis tersebut harus dilawan dengan persatuan.
Dinda Marley pun batal membeli bendera tengkorak bertopi jerami dengan dua tulang bersilang. Ibu dua anak yang tinggal di Kotamatsum 3, Kecamatan Medankota, Kota Medan, mengaku tak tahu-menahu apa itu One Piece dan benderanya. Namun sejak viral dan menjadi pembicaraan di media sosial, dia menyari tahu dan suka dengan bentuk bendera dan gambarnya.
"Mau beli dan mengibarkan di halaman rumah atau ditempel di dinding, tapi ragu. Takut dikira macam-macam, panjang lagi urusannya. Padahal ini seni. Kalau dianggap simbol kritik terhadap pemerintah, why not? Kan, caranya unik, lucu dan santun. Kenapa begitu kepanasan?" tanya dia menggeleng.
Menyikapi gejolak ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai pemerintah dan wakil rakyat berlebihan menyikapinya. Malah jadi mengintimidasi dan menakut-nakuti masyarakat. Secara hukum pengibaran Jolly Roger bukan perbuatan makar, ini ekpresi perlawanan atas ketidakadilan, tirani dan kekuasaan yang sewenang-wenang.

"Pengibaran bendera One Piece adalah kritik rakyat terhadap negara, bentuk kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Bukan bentuk merendahkan dan menghindari bendera merah putih," kata Direktur LBH Medan Irvan Saputra.
"Ini bukan pelanggaran hukum atau makar, pemerintah jangan lebay karena menyampaikan pendapat, ekspresi dan kritik dijamin konstitusi. Pasal 28E Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat," sambung dia.
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan menyebut, selama tindakan tidak bermaksud mengganti, merendahkan atau menghina bendera merah putih, tidak dapat dikategorikan makar. Pasal 21 ayat 1 dan 2 menegaskan, jika bendera kebangsaan dipasang bersama bendera lain atau panji dalam satu tiang, Sang Saka Merah putih harus berada di atasnya.
"Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, rakyatnya cerdas. Tidak mungkin pengibaran bendera One Piece memecah belah bangsa dan merusak persatuan dan kesatuan. Harusnya dengan masifnya kritik, pemerintah dan DPR memperbaiki kinerjanya. Menjalankan tugas secara hukum untuk memberi keadilan dan kesejahteraan terhadap rakyat Indonesia," ucapnya.
LBH Medan meminta hentikan sikap menakut-nakuti bangsa dengan ancaman pidana. Ini bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan International Covenant on Civil and Political Right (ICPPR).